Ikan lele (Clarias Sp.) merupakan ikan dari genus Clarias yang banyak tersebar di perairan Asia dan Afrika. Di Asia Tenggara Sendiri terdapat 20 jenis ikan dari genus Clarias.
Beberapa diantaranya dikonsumsi luas masyarakat karena ketersediaannya
melimpah, rasanya gurih dan memiliki kandungan protein tinggi. Namun
tidak semua jenis ikan lele cocok untuk dikonsumsi dan dibudidayakan.
Hanya ikan lele dari jenis-jenis tertentu saja yang bisa dibudidayakan
untuk tujuan konsumsi. Jenis-jenis ikan lele tersebut biasanya memiliki
sifat unggul seperti pertumbuhan cepat dan tahan terhadap penyakit.
Selain itu, ia harus bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang
mempunyai kepadatan tinggi dan kondisi air minim.
Ikan lele banyak hidup di perairan air tawar hingga air payau.
Beberepa peternak lele di Pantura Jawa berhasil membudidayakan ikan lele
di tambak bekas bandeng dan udang. Pada dasarnya, ikan lele hidup
secara nocturnal, aktif bergerak di malam hari. Di perairan
bebas lele berada di tempat-tempat air tergenang yang cenderung tenang
seperti rawa, danau dan daerah sungai yang agak terlindung. Biasanya
ikan ini memilih tempat-tempat yang teduh dan membuat lubang-lubang
ditanah.
Ikan lele termasuk pada jenis ikan karnivora atau pemakan daging. Di
alam ikan ini menyantap cacing, kutu, larva serangga dan siput air.
Pada keadaan tertentu ia bisa memangsa sesamanya alias kanibal.
Biasanya, ikan lele menjadi kanibal karena tak ada makanan lain dan
faktor perbedaan ukuran. Lele yang lebih besar akan memangsa kawanan
yang lebih kecil.
Ikan lele berkembang biak dengan telur, dan telurnya dibuahi secara
eksternal. Musim perkembangbiakan lele secara massal terjadi diawal
musim hujan. Dibeberapa kasus masih membiak sepanjang musim hujan. Ikan
lele memijah didorong oleh faktor kelimpahan air dan kualitas air,
dimana pada musim hujan air cukup banyak dan kualitasnya lebih baik.
Lele juga memijah ketika ada rangasangan berupa bau tanah. Tanah yang
terjemur kemudian terendam air akan mengeluarkan bau khas yang
merangsang ikan memijah. Kondisi ini biasanya terjadi saat hujan tiba.
Di Indonesia, setidaknya terdapat dua spesies ikan lele yang biasa dibudidayakan masyarakat. Yaitu spesies Clarias Batrachus dan Clarias Gariepinus.
Dari dua spesies ini, ada beberapa ikan lele yang dikategorikan unggul
yaitu lele dumbo, lele sangkuriang dan lele phyton. Setiap jenis ikan
lele tersebut memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing.
Berikut penjelasan dari jenis-jenis ikan lele budidaya di Indonesia.
1. Ikan lele lokal
Ikan lele lokal memiliki nama latin Clarias Batrachus,
merupakan jenis ikan lele yang dikenal luas di masyarakat. Sebelum lele
dumbo diperkenalkan di Indonesia, para peternak biasa membudidayakan
ikan lele jenis ini. Namun saat ini sangat jarang peternak yang
membudidayakan jenis lele lokal karena dipandang kurang menguntungkan.
Lele lokal memiliki Food Convertion Ratio (FCR) yang tinggi,
artinya rasio pakan yang diberikan terhadap berat daging yang dihasilkan
tinggi. Perlu lebih dari satu kilogram pakan untuk menghasilkan satu
kilogram daging dalam satu siklus budidaya. Selain itu, pertumbuhan lele
lokal terbilang sangat lambat. Lele lokal yang berumur satu tahun masih
kalah besar dengan lele dumbo berumur 2 bulan!
Terdapat tiga jenis lele lokal yang ada di Indonesia, yaitu lele
hitam, lele putih atau belang putih dan lele merah. Diantara ketiga
jenis lele itu, lele hitam paling banyak dibudidayakan untuk konsumsi.
Sedangkan lele putih dan merah lebih banyak dibudidayakan sebagai ikan
hias. Lele lokal memiliki patil yang tajam dan berbisa, terutama pada
lele muda. Apabila menyengat, racun yang terdapat pada patil bisa
membunuh mangsanya dan bagi manusia bisa membuat bengkak dan demam.
2. Ikan lele dumbo
Ikan lele dumbo pertama kali didatangkan ke
Indonesia dari Taiwan pada tahun 1985. Ikan ini menjadi favorit
dikalangan peternak karena pertumbuhannya yang cepat dan badannya yang
bongsor dibandingkan dengan lele lokal. Sebagai perbandingan, lele dumbo
berumur 2 bulan besar badannya bisa dua kali lipat dibanding lele lokal
berumur satu tahun.
Menurut keterangan eksportirnya, lele dumbo merupakan hasil perkawinan antara Ikan lele asal Taiwan Clarias Fuscus dengan ikan lele asal Afrika Clarias Mosambicus. Namun keterangan lain menyebutkan lele dumbo lebih mirip dengan Clarius Gariepinus
yang hidup di perairan Kenya, Afrika. Banyak literatur yang
menggolongkan lele dumbo kedalam jenis yang kedua, termasuk artikel ini.
Untuk pastinya, perlu penelaahan lebih lanjut dalam mengungkap
asal-usul lele dumbo.
Dari sisi fisik, ikan lele dumbo bisa dibedakan dengan lele lokal
dari warnanya yang hitam kehijauan. Lele dumbo juga akan bereaksi ketika
terkejut atau stres, kulitnya berubah menjadi bercak-bercak hitam atau
putih dan kemudian akan berangsur-angsur kembali ke warna awal. Lele
dumbo memiliki patil seperti lele lokal, namun patilnya tidak
mengeluarkan racun. Lele dumbo juga cocok dipelihara di kolam tanah
karena tidak mempunyai kebiasaan membuat lubang. Secara umum, lele dumbo
bisa tumbuh lebih cepat, lebih besar dan lebih tahan terhadap penyakit
dibanding lele lokal. Namun dari sisi rasa, daging lele dumbo lebih
lebih lembek. Sebagian orang menganggap daging ikan lele lokal lebih
enak rasanya dibanding lele dumbo.
3. Ikan lele sangkuriang
Ikan lele sangkuriang resmi dilepas oleh Departemen Kelautan dan
Perikanan pada tahun 2004. Penelitian ikan lele sangkuriang dilakukan
oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPAT)
Sukabumi sejak tahun 2002. Penelitian ini berawal dari kekhawatiran
para peternak dengan menurunnya kualitas lele dumbo yang beredar di
masyarakat. Penurunan disebabkan oleh kesalahan dalam menghasilkan benih
dan penyilangan yang terjadi secara terus menerus. Hingga akhirnya
diupayakan untuk mengembalikan sifat-sifat unggulnya dengan cara
persilangan balik (back cross).
Ikan lele sangkuriang dihasilkan dari indukan betina lele dumbo
generasi ke-2 atau F2 dan lele dumbo jantan F6. Induk betina merupakan
koleksi BBPAT, keturunan F2 dari lele dumbo yang pertama kali
didatangkan pada tahun 1985. Sedangkan indukan jantan merupakan
keturunan F6 dari keturunan induk betina F2 itu. Penamaan Sangkuriang
diambil dari cerita rakyat Jawa Barat tentang seorang anak yang bernama
Sangkuriang yang mengawini ibunya sendiri. Sama seperti yang dilakukan
BBPAT yang mengawinkan lele jantan F6 dengan induknya sendiri lele
betina F2.
Dari hasil perkawinan ini ternyata didapatkan sifat-sifat unggul
seperti kemampuan bertelur hingga 40.000-60.000 butir per sekali
pemijahan. Jauh berbeda dengan kemampuan bertelur ikan lele lokal yang
berkisar 1.000-4.000 butir. Lele Sangkuriang juga lebih tahan terhadap
penyakit, dapat dipelihara di air minim, dan kualitas daging yang lebih
baik.
Hanya saja kelemahannya, peternak tidak bisa membenihkan lele
Sangkuriang dari induk lele Sangkuriang. Apabila ikan lele Sangkuriang
dibenihkan lagi, kualitasnya akan turun. Jadi pembenihan lele
Sangkuriang harus dilakukan dengan persilangan balik.
Saat ini BBPAT sedang menggodok varian baru lele Sangkuriang, yaitu
ikan lele Sangkuriang II. Jenis ini merupakan perbaikan dari Sangkuriang
I. Ikan lele ini persilangan antara indukan jantan F6 Sangkuriang I
dengan indukan betina F2 lele dari Afrika. Indukan lele Afrika dipilih
karena ukurannya yang besar, bisa sampai 7 kilogram. Hal ini dipandang
bisa memperbaiki sifat genetis lele Sangkuriang. Berdasarkan pemulianya,
yaitu BBPAT, ikan lele Sangkuriang II pertumbuhannya lebih besar 10
persen ketimbang Sangkuriang dan bobotnya pun lebih bongsor.
Ikan lele sangkuriang II belum dilepas secara bebas. Pihak BBPAT
masih melakukan uji multilokasi di daerah Bogor (Jawa Barat), Gunung
Kidul (Yogyakarta), Kepanjen (Jawa Timur) dan Boyolali (Jawa Tengah). Daerah tersebut memang dikenal sebagai sentra-sentra produksi lele nasional.
5. Ikan lele phyton
Berbeda dengan varietas unggul lainnya yang biasanya ditemukan oleh
para peneliti, ikan lele phyton ditemukan oleh para peternak ikan lele
di Kabupaten Pandeglang, Banten, pada tahun 2004. Ikan lele phyton
merupakan hasil dari silangan induk lele eks Thailand F2 dengan induk
lele lokal. Sayangnya tidak diketahui apa spesies dari indukannya dan
dari generasi keberapa indukan ikan lele lokalnya berasal. Menurut para
penemunya, indukan didapat dari ikan lele lokal yang banyak
dibudidayakan masyarakat setempat secara turun temurun. Tapi berdasarkan
beberapa literatur, lele phyton berasal dari induk betina lele eks
Thailand F2 dengan induk jantan lele dumbo F6.
Ikan lele phyton mempunyai ketahanan terhadap cuaca dingin, tingkat kelangsungan hidup (survival rate)
lebih dari 90%. Sementara itu, FCR mencapai 1, artinya satu kilogram
pakan menjadi satu kilogram daging dihitung mulai benih ditebar sampai
panen dengan siklus pemeliharaan selama 50 hari.
Pada awalnya proyek Ikan lele phyton ini dilakukan untuk menjawab
keluhan para peternak lele di Desa Banyumundu, Kabupaten Pandeglang.
Mereka sering mengalami kerugian karena tingkat mortalitas yang tinggi
dari benih lele yang dibeli dipasaran, seperti lele dumbo. Benih lele
tersebut rupanya tidak cocok dibudidayakan di Desa Banyumundu yang
beriklim dingin, pada malam hari berkisar 17 derajat celcius. Dengan metode try and error
selama lebih dari 2 tahun akhirnya mereka menemukan varietas lele yang
kemudian dinamakan Ikan lele phyton. Kualitas lele phyton ini juga
diakui oleh Dinas Perikanan Budidaya Provinsi Banten.
Sesuai dengan namanya, lele phyton memiliki bentuk kepala seperti
ular phyton. Gerakannya lebih lincah dari lele dumbo dan rasa dagingnya
lebih gurih, tidak lembek. Dari segi rasa, lele phyton lebih mendekati
lele lokal.
Sumber : www.alamtani.com